Haji Burhan, Saksi Bisu Pengincaran Masjid Besar Cicalengka Tuk Dijadikan Markas DI/TII 1950


Bandung — Suasana di sekitar Masjid Besar Cicalengka ini memang tenteram. Namun saat muncul pemberontakan DI/TII tahun 1950-an, ketenteraman di masjid ini sempat terusik. Pasalnya, masjid ini pernah menjadi incaran para pendukung DI/TII untuk dijadikan markas gerakan yang dipimpin Kartosuwiryo sekitar tahun 1950.


"Masjid ini paling aman dan tidak bisa didekati pemberontak DI/TII," ujar Haji Burhan, salah satu tokoh Masjid Besar Cicalengka, Senin (14/12/2020). 

Keberadaan markas Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Cicalengka membuat masjid yang memiliki 36 pilar berbentuk lingkaran itu menjadi aman untuk digunakan ibadah umat muslim yang menolak bergabung dengan DI/TII.

"Ketika masjid-masjid di sekitar Cicalengka dibakar, tidak demikian dengan Masjid Besar Cicalengka. Sebab, dua markas Yonif di sini, yaitu Yonif 308 dan 304, menjadi pertahanan dari serangan pemberontak DI/TII," sambungnya.

Menurut Haji Burhan, masjid ini sempat mengalami perubahan nama semenjak renovasi, mulai dari Masjid Agung Cicalengka, Masjid Besar Cicalengka, dan Masjid Raya Cicalengka hingga saat ini.

"Masjid ini memang tidak pernah sepi dari kegiatan ibadah, terlebih di bulan Ramadhan. Di sepuluh malam terakhir, masjid ini selalu dipenuhi warga yang mencari Lailatul Qadar dan mendekatkan diri kepada Tuhannya. Sayangnya saat pandemi seperti ini, ada beberapa kegiatan yang dibatasi," pungkasnya.

Uniknya, masjid ini terlihat dari menara masjidnya yang memiliki tinggi sekitar 30 meter. Pasalnya, menara yang dibangun tahun 2010 itu tak hanya memiliki fungsi untuk menyuarakan azan, tapi juga sebagai tower komunikasi salah satu provider seluler. Oleh karena itu, di sebelah pengeras suara terlihat piringan serupa parabola.

Komentar